Senin, 14 September 2009

Dakwah yang Mencerahkan Umat

Dakwah memainkan peran yang sangat penting dalam Islam. Bisa dibilang bahwa pasang surut Islam di mana dan kapan pun sangat ditentukan oleh kerja-kerja kedakwahan. Karena itu, berdakwah menjadi suatu keharusan dalam rangka pengembangan ajaran Islam. Aktivitas dakwah yang kuat akan sangat berpengaruh pada kemajuan agama. Sebaliknya, aktivitas dakwah yang lemah akan berdampak pada kemunduran agama. Setiap muslim diharapkan berperan aktif dalam aktivitas dakwah, sekurangnya mengajak orang lain menuju jalan Allah agar meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat (lih. QS. an-Nahl [16]: 125).

Harus diakui bahwa kerja-kerja dakwah islamiah yang selama ini dipahami dan yang dilakukan oleh kaum muslimin, dalam banyak hal, memang telah membuahkan hasil. Namun demikian, bukan berarti dakwah harus berhenti. Hal ini, selain karena pemahaman konsep dasar bahwa selama Islam tersemai dalam diri seorang muslim maka di situ ada proses dakwah (dakwah inhern dalam diri setiap muslim), juga karena realitas masyarakat kini memang membutuhkan kerja-kerja dakwah yang kreatif dan inovatif. Dengan ini (upaya yang kreatif dan inovatif) diharapkan spirit Islam sebagai yang membawa rahmatan lil‘âlamîn dan shahîh likulli makân wa zamân dapat diwujudkan.

Untuk mencapai agenda besar itu, Islam menganjurkan untuk mulai dari diri sendiri (ibda’ binafsika). Perubahan dalam komunitas besar masyarakat muslim harus dimulai dari individu. Ketercapaian tujuan khairu ummah harus dimulai dari khairul bariyyah (muslim yang berkualitas, QS. al-Bayyinah [98]: 7–8), yaitu seorang muslim yang melakukan transformasi iman menjadi amal saleh dalam setiap segi kehidupan, yang kemudian (kumpulan dari khairul bariyyah) akan membentuk komunitas maupun lembaga keislaman (QS. Al Imran [3]: 104) sehingga terjadi kebersatuan agenda, langkah, dan tujuan.

Pada kenyataannya agenda dan harapan itu tidak dengan mudah digapai oleh kaum muslimin. Pasalnya, bagaimana mungkin hendak melakukan pencerahan manusia dan kemanusiaan, sementara diri sendiri bermasalah.

Sejauh ini, problem yang dihadapi sebagian besar umat Islam, khususnya di Indonesia, antara lain adalah keterbelakangan sosial dan ekonomi. Keadaan ini bukan tanpa sebab. Selain karena kaum muslimin sendiri yang secara kualitas kurang mampu bersaing, realitas struktural juga sangat mempengaruhi kondisi buruk ini.

Dalam pengertian itu, selain problem inhern, persoalan ekstern berupa kebijakan politik dan ekonomi turut mempengaruhi. Padahal, bila kita kembali pada pemahaman tentang ideal Islam, maka sesungguhnya Islam bukanlah pembawa masalah, namun penyelesai masalah (problem solver). Namun, demikianlah kenyataan yang dihadapi oleh kaum muslim di Indonesia—bahkan di sebagian besar negeri muslim.

Upaya mengakhiri keterbelakangan itu mesti dilakukan secara sinergis oleh seluruh kaum muslimin di Indonesia. Ini bisa diawali dengan pembaruan pemahaman tentang dakwah, yaitu bahwa meski buah dari kerja-kerja dakwah telah dirasa cukup berhasil pada satu sisi, namun pada sisi lain realitas masyarakat yang ada sebagai objek mesti dilihat dengan upaya dakwah yang kreatif dan inovatif, yaitu upaya dakwah yang dapat mengarahkan pada semangat Islam yang berkemajuan, yang dicirikan dengan semangat keimanan, amal saleh, prestasi, berdaya saing, dan semangat bekerja sama.

Mengingat pentingnya posisi dakwah dalam Islam, setidaknya ada tiga strategi dan pemahaman yang perlu menjadi pegangan bagi pegiat dakwah, khususnya, dan umat Islam pada umumnya.

Pertama, pemahaman yang utuh tentang dakwah, yaitu bahwa dakwah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tujuan kehadiran Islam bagi manusia, yaitu untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Secara filosofis, kegiatan berdakwah seyogyanya dibangun di atas landasan pemahaman bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah. Realitas sosial yang mempengaruhi manusialah yang membuatnya menjadi jauh dari fitrah (Islam). Oleh karena itu, gerakan dakwah sejatinya merupakan upaya agar manusia kembali kepada dirinya yang sejati (QS. ar-Rum [30]: 30).

Kedua, pemahaman bahwa dakwah merupakan upaya untuk memahamkan manusia tentang arti kehadirannya di dunia, yang secara normatif merujuk pada Al-Quran dan Hadits, yaitu sebagai khalifah untuk melakukan pencerahan bagi manusia dan kemanusiaan, sehingga tercapai khairu ummah (QS. al-Baqarah [2]: 30; Al-Imran [3]: 104 dan 110; Al-Ahzab [33]: 21).

Ketiga, pemahaman bahwa selain berdimensi vertikal, dakwah juga berdimensi horizontal. Dalam hal ini, penting bagi seorang muslim untuk memahami dakwah sebagai suatu upaya mensinergikan takdir Tuhan yang transendental dengan kerja manusia yang rasional. Takdir Tuhan di sini harus dimengerti dalam bingkai pemahaman bahwa adanya perubahan atau tidak dalam diri manusia sebagai objek dakwah merupakan wewenang Tuhan (QS. al-Qashash [28]: 56).

Walaupun demikian, pengertian itu juga tidak bisa mengesampingkan bahwa perubahan manusia sebagai objek dakwah juga berkaitan erat dengan usaha giat manusia sebagai pelaku dakwah (innî ‘inda zhanni ‘abdî bî). Oleh karena itu, kerja dakwah rasional yang dilakukan oleh seorang dai dapat diwujudkan dengan ragam pendekatan, dengan bantuan pengetahuan yang ilmiah, antara lain, psikologi, sosiologi, komunikasi, dan antropologi.

Dengan meminjam pengetahuan ilmiah itulah diharapkan kerja dakwah, baik yang dilakukan secara individual (da‘wah fardiah) maupun yang dilakukan secara kolektif (da‘wah jam‘iyyah) dapat lebih efektif dan efisien, karena objek dakwah didekati secara kontekstual, yaitu berdasarkan pada kondisi individu, sosial, maupun kebudayaannya (khâtibûn-nâsa ‘alâ qudrati ‘uqûlihim).

Aryah Marzanah; reporter Yayasan Dakwah Malaysia Indonesia (YADMI), Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar